Senin, 25 November 2013

Warisan untuk Peradaban

image from wikipedia
Menulis, membuat buku,
ah saya mungkin sangat tak layak membahasnya, jam terbang saya menulis sangat miskin. Masih tergantung mood, sering sebagai penyaluran rasa "galau" semata. Apalagi membuat buku, sudah syukur tiga tulisan saya pernah masuk dalam dua buku antologi. Sehingga untuk menuliskan pembahasan ini, saya pribadi merasa tidak berkompetensi, atau malah terkesan sok tahu. Tapi tidak apalah, bukankah di tulisan saya sebelumnya saya membahas bahwa menulis adalah sebuah proses untuk mengasah, mengolah kebijaksanaan?

Menulis, berkarya, bisa kita lakukan untuk sekadar menyalurkan emosi, perasaan, memenuhi hobi harian. Bisa pula untuk tujuan komersil. Namun saya cukup merasa terangsang dan tertantang dengan "Warisan Peradaban". Bermula dari latihan memanah, saya berbincang dengan rekan saya, penghuni kos yang baru, dia kuliah di jurusan Sejarah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Solo.

Awalnya kami seru membahas mengenai panah, kali ini saya agak "keren" menjadi narasumber dadakan, yang tentu saja saya tidak mengarang dalam hal ini, namun pernah membaca beberapa referensi mengenai panah, maupun pembahasan langsung oleh pakarnya, yaitu pelatih saya sendiri. Singkat cerita, pembahasan kami akhirnya sampai mengenai seni berperang, dan membahas mengenai buku "Art of War" yang ditulis Sun Tzu, seorang Jenderal Militer, ahli strategi, sekaligus filsus dari China yang hidup pada tahun 544-496 Sebelum Masehi.

Kali ini, gantian teman saya yang menjadi narasumbernya, maklum dia adalah mahasiswa jurusan Sejarah, jadi memang bidangnya, hingga dia berkata bahwa Sun Tzu telah memberi warisan peradaban, kitab Art of Warnya sampai kini masih dibaca jutaan orang, para penerbit menerbitkan, bukan untuk mencari keuntungan, Sun Tzu yang telah lama tiada pun, sudah tak memerlukan royalti. Semua terjadi begitu saja, karena karyanya menjadi sumbangsih yang besar terhadap peradaban di bumi.

Begitupun Al-Qur'an yang tentu tidak berbanding dengan tulisan manusia, ia adalah wahyu Ilahi.
Al-Qur'an terus dicetak, bukan untuk keuntungan, apalagi itu merupakan perkataan Allah, yang terjaga keasliannya, karena Allah telah berjanji untuk menjaganya hingga hari kiamat. Sehingga ada badan-badan waqaf yang memang bertugas mencetak Al-Qur'an yang merupakan kitab mulia berisi wahyu dari Allah. Maka pahala jariyahnya tentu akan didapatkan oleh siapa saja yang menyumbangkan atau turut andil dalam mencetak dan menyebar luaskan Al-Qur'an.

Akhirnya saya sedikit terpancing, benar juga, menulis itu bukan sekadar mencari royalti, itu hanya efek, sedangkan menjadikan royalti sebagai tujuan utama menulis, adalah suatu hal yang rendah nilainya. Menulis adalah, menyumbang pemikiran, ide, untuk peradaban, generasi selanjutnya, sebuah legacy. Menjadi sebuah amal jariyah yang besar jika apa yang kita tulis berisi kebaikan, terus diterbitkan dan dibaca banyak orang.
Kalau begitu, tumbuhkan saja niat menulis adalah untuk Allah tentunya, lalu jadikan motivasi, bahwa menulis, adalah menyumbangkan ide-ide, pemikiran-pemikiran, untuk peradaban generasi selanjutnya. Itu sungguh mulia. Semoga saja, mulai saat ini saya bisa lebih konsisten untuk menulis.

Rzq - 26/11/2013

0 komentar:

Posting Komentar