Minggu, 24 November 2013

Menulis, Kebetulan, dan Keputusan

Sebenarnya ketiga kata tersebut mewakili tiga bab awal yang telah saya baca dari sebuah buku simpel, unik, renyah, santai, berjudul "Ultimate U 2" karya Rene Suhardono. Bagaimana tidak renyah banget, buku itu benar-benar membuat kita merasa, "ini buku gue banget!" bukan karena kita penulisnya, tapi si penulis berbaik hati menyediakan space kosong, satu hingga dua halaman di setiap penghujung bab untuk menjadi arena coret-coret si pemilik buku.

Lalu pada bagian bawah "arena" coret-coret tersebut tertulis, "think less, feel more" menjadikannya sangat keren menurut saya. Buku ini, si penulisnya mendorong kita untuk mengaktualisasi diri kita sebagai pembaca, dan mengaplikasikan apa yang telah kita baca di bab yang bersangkutan. Bebas sekehendak pembaca, bisa saja membuat resume, atau malah coret-coret menggambar di bagian kosong tersebut. Buku ini asik dibaca dari bab mana aja, lalu setiap bab, tak perlu buru-buru menyelesaikan dan membaca bab selanjutnya, justru penulis menyarankan agar kita meresapi dulu satu bab yang kita baca, mencoba melakukannya, sebelum melanjutkan membacanya. Saya pun demikian, dari sekian banyak bab yang ringkas, sepekan ini saya baru membaca tiga bab.

Saya tidak ingin membahas tiga bab tersebut sekaligus meski saya telah menuliskan tiga kata tersebut sebagai judul. Bab pertama, mengajak kita untuk rajin menulis, ah mungkin terlalu formal dan terkesan memaksa ya, baiklah kita ganti dengan, "tak sungkan untuk menulis".

Mengapa harus sungkan dan mengapa harus tak sungkan? Kebanyakan orang, termasuk saya, kadang ragu untuk menulis. Saya sendiri, sejak SMP memang hobi menulis, blogging, namun SMA mulai jatuh, matisuri. Lalu awal kuliah kembali menulis, lalu padam lagi, hingga sekarang saya perlahan mencoba menulis lagi. Rasa sungkan untuk menulis biasanya karena kita terbebani oleh muatan ilmu, agar apa yang kita tuliskan itu memiliki "dalil" atau landasan yang jelas dan tidak ngawur. Khawatir salah menulis. Hal itu tidak salah, memang, kita harus menulis harus berdasarkan ilmu. Apalagi saya seorang Muslim, memahami bahwa, apapun yang kita lakukan, tuliskan, ucpakan, harus memiliki landasan keilmuwan. Baik berupa dalil-dalil syar'i maupun dalil keilmuwan umum, baik itu secara tersurat maupun tersirat. Kita sampaikan dalam tulisan maupun tidak.

Misalkan saya ingin menulis panduan berwudhu, maka saya tidak boleh hanya menerangkan step by stepnya saja, namun harus disertai dalil berupa ayat maupun hadits, juga keterangan-keterangan penjelas dari ulama yang berkompeten dalam hal tersebut. Karena, dalam Islam, masalah ibadah adalah masalah yang harus ada landasan kuat, harus ada tuntunan aau contoh dari Rosulullah Shollallahu 'alaihi wassallam. Maka dalil yang saya cantumkan berfungsi sebagai pertanggung jawaban, bahwa masalah wudhu yang saya terangkan memang seperti itu, ada dalilnya, bukan suatu yang saya karang sendiri.



Apabila kita ingin menulis tulisan dengan kategori tersebut, maka sudah sepatutnya kita menjelaskan, mencantumkan referensi keilmuwan yang otentik, kuat, jelas, ilmiah.

Lain halnya apabila kita ingin menuliskan sesuatu yang sifatnya subjektif, misalkan interpretasi suatu kejadian, menarik hikmahnya. Maka, tulisan tersebut tidak harus mencantumkan landasan secara tersurat seperti jenis tulisan di atas. Yang jadi patokan adalah nilai dan norma agama maupun yang ada di masyarakat. Saya hanya tinggal menuliskan kronologi kejadiannya misalkan, lalu saya sampaikan hikmahnya, selama dalam penulisan tersebut tak ada yang melanggar ketentuan syariat agama atau nilai dan norma masyarakat, maka tak perlu ragu untuk menuliskannya.

Yang paling perlu diingat adalah, setiap tulisan kita, adalah rekaman sejarah. ia adalah warisan yang kita tinggalkan. Ia akan mebekas terus selama tak ada yang menghapusnya, akan tetap dibaca meski kita sudah tiada. Maka, menulis butuh kesadaran, karena pertanggung jawabannya tidak hanya di dunia, namun di akhirat juga. Apakah tulisan kita memuat pelanggaran ataukah tidak? Bermanfaatkah, atau malah menjerumuskan? itu yang perlu kita pertimbangkan.

Hal di atas, adalah pandangan saya, apa yang menyebabkan kita menjadi sungkan menulis. Sebagai bentuk kehati-hatian saja.

Nah, sekarang, kita akan mencoba membahas, kenapa kita tak perlu sungkan untuk menulis?
Sebenarnya, menulis itu merupakan kelanjutan dari membaca. Apabila membaca merupakan sarana untuk menggali pengetahuan, maka menulis adalah mengasah kebijaksanaan kita. Bayangkan, anda baru saja selesai membaca sebuah novel tebal, yang berisi kisah kehidupan orang dewasa. Mungkin ada hal yang kasar, vulgar, namun ada sisi lain yang mengandung pelajaran. Lalu mungkin anda akan mencoba menuliskan resume, atau ingin berbagi cerita kepada orang lain mengenai esensi atau bilai dari novel tersebut. Tentu anda tidak mungkin menuliskan semua yang telah anda baca. Anda akan dengan cermat memilah, bagian mana yang harus anda tuliskan, mana yang harus anda perhalus kalimat untuk menyampaikannya, mana hal yang sebaiknya tidak perlu anda sampaikan karena khawatir akan disalah pahami orang lain.

Bahkan kadang anda harus memutar otak bagaimana agar tulisan anda menjadi tawar atau netral rasanya, untuk pencitraan, menjaga image, dan sebagainya.

Dari situlah, anda sedang mengasah kebijaksanaan anda. Sama halnya dengan saya saat menyelesaikan tulisan ini. Mulai dari pemilihan judul, pembuka, pemilihan kata, bentuk kalimatnya, apa saja yang akan saya kemukakan, dan seterusnya.

Dalam buku UltimateU2, disebutkan bahwa setiap harinya, setidaknya seorang manusia memikirkan 10.000-15.000 hal. Mungkin jika kita mampu menuliskan semua pemikiran kita, seabstrak apapun itu, bisa jadi kita akan menulis satu buku setiap harinya. Berapa banyak kata yang berseliweran di kepala kita. Kalau bukan dengan menulis, bagaimanakah cara kita mengapresiasi pemikiran kita sendiri? Ide, laksana awan. ia akan datang, lalu pergi tak pernah kembali, Ia akan kembali dalam bentuk lain lagi. Jadi kalau tidak segera kita "potret" dengan menuliskannya, atau mengeksekusinya dengan action, maka ide tersebut akan hilang begitu saja. Susah mengingatnya keculi kita memang benar-benar memutuskan mengingatnya.

Reading Brings Knowledge, Writing Brings Wisdom.
Knowledge comes, but wisdom lingers. Start with reading, and proceed with writing.

Writing is never about knowing, it is about sharing and caring. (Rene Suhardono - UltimateU2)Selain hal di atas, mengapa kita tak perlu sungkan menulis?
Bahkan sepatah kalimat pun, mari dituliskan saja, di tempat yang layak, yang mungkin bisa di baca orang lain. Menulis bukanlah selalu soal pengetahuan, namun soal berbagi dan peduli. Coba bayangkan, bagaimana bila tulisan kita, yang mungkin kita anggap sederhana, hanya berisi cerita tentang kebiasaan kita, menjadi suatu cambukan luar biasa bagi orang lain?

Bisa jadi apa yang menjadi kebiasaan kita, adalah hal luar biasa bgi orang lain, yang dari situ membawa inspirasi, kemudian menjadi aksi nyata orang yang membaca spenggal tulisan kita tadi. Kita telah menebar manfaat, sharing dan caring. Jadilah ia amal jariyah bagi kita. Jadi tunggu apa lagi? Yuk menulis !

Writing is about leaving our footprints in life, it's about our legacy. (UltimateU2)

-rzq 24/11/13

0 komentar:

Posting Komentar