Jumat, 29 November 2013

Sesuai Kapasitas (Bagian 2)

image source : http://estotevaagustar.files.wordpress.com/
Ada solusi ketiga, yang saya tawarkan, (bahasanya semacam.. seolah.. seperti.. saya seorang pakar hehe)
Jika dalam postingan yang lalu, bagian 1, saya menyebutkan dua solusi, yang pertama adalah, menuliskan hal-hal kecil, ringan namun bermanfaat, lalu yang kedua, adalah menggali ilmu sebanyak-banyaknya yang tentu juga dengan memahami seutuhnya, sebagai bekal untuk menuliskan suatu yang besar manfaatnya, namun berat juga pembahasannya, maka solusi ketiga yang saya tawarkan untuk memberi manfaat yang cukup besar adalah the Power of CoPas alias Copy-Paste.

Eits.. tidak selamanya lho copas itu berarti buruk, plagiat. Tentu saja boleh, asalkan tetap menjaga adab-adabnya. Apa itu? cantumkanlah sumbernya, darimana mendapatkannya. Jangan sampai, seakan blog kita, atau tulisan kita super intelek bin keren, eh ternyata oh ternyata, hasil plagiasi, alias copy paste tak bertanggung jawab, aslinya dari sumber X, tapi tanpa kita sadari seakan ngaku-ngaku itu karya tulis kita karena lupa atau sengaja tidak menuliskan sumbernya. Belum lagi kalau nanti penulis atau pemilik sumber aslinya jadi menuntut kita secara hukum, bisa berabe kan? nah lho. Ah.. urusan etika ilmiah untuk menghindari plagiasi, bisa kita pelajari lebih dalam di sumber-sumber lain yang bertebaran. Silahkan....

Lalu apa manfaatnya CoPas yang bertanggung jawab? Yang pertama, membantu kita untuk berbagi pengetahuan yang "berat" dan manfaatnya besar kepada orang lain, disaat kita merasa belum berkapasitas menuliskannya. Kedua, saat memilah artikel "berat" otomatis kita pun jadi ikut membaca, menjadi bijaksana untuk memfilter, apakah layak artikel tersebut untuk dibaca orang lain. Misalkan kita sudah memahami mengenai tata cara sholat yang benar sesuai tuntunan rosulullah, namun kita sangat tidak berkapasitas menuliskannya sendiri, maka bisa saja kita tinggal CoPas dari situs-situs Islami terpercaya, membantu menyebarkan, menjadikannya bernilai dakwah pula. Tapi ingat ya, cantumkan sumbernya ^^
Allahu a'lam






Sesuai Kapasitas

image source : RNfitriani.blogspot.com
Boleh, bahkan harus, untuk bertekad memberi manfaat sebanyak mungkin. Berharap tulisan-tulisan yang kita buat, menjadi manfaat dan warisan untuk peradaban. Mengalirkan pahala jariyah yang begitu menyenangkan.
Namun, tetaplah sesuai kapasitas.

Karena, manfaat sekecil apapun, selama itu masih dalam jangkauan kapasitas kita, ia akan mengalir menjadi pahala. Yang ringan saja. Daripada mencoba menuliskan sesuatu yang memang besar manfaatnya, tapi perlu ilmu yang mendalam, rumit teorinya, karena jika ada kesalahan sedikit saja, bisa jadi kacau pemahaman seseorang yang membaca. Ia kalau sedikit, kalau hanya satu orang, jika ratusan, ribuan orang?

Hilanglah pahala yang diharap, malah bisa jadi dosa berlimpah. Ini adalah kesadaran bagi siapapun, terutama diri sendiri, buat apa menulis yang berat-berat, tapi ilmu yang harus dikuasai banyak, bukan kapasitas kita. Jadi apa solusinya? Menulislah yang ringan, tapi tetap bermanfaat, atau gali ilmu sebanyak-banyaknya, untuk bekal menulis yang berat, dan bermanfaat besar. ^^

Allahu a'lam
Senin, 25 November 2013

Warisan untuk Peradaban

image from wikipedia
Menulis, membuat buku,
ah saya mungkin sangat tak layak membahasnya, jam terbang saya menulis sangat miskin. Masih tergantung mood, sering sebagai penyaluran rasa "galau" semata. Apalagi membuat buku, sudah syukur tiga tulisan saya pernah masuk dalam dua buku antologi. Sehingga untuk menuliskan pembahasan ini, saya pribadi merasa tidak berkompetensi, atau malah terkesan sok tahu. Tapi tidak apalah, bukankah di tulisan saya sebelumnya saya membahas bahwa menulis adalah sebuah proses untuk mengasah, mengolah kebijaksanaan?

Menulis, berkarya, bisa kita lakukan untuk sekadar menyalurkan emosi, perasaan, memenuhi hobi harian. Bisa pula untuk tujuan komersil. Namun saya cukup merasa terangsang dan tertantang dengan "Warisan Peradaban". Bermula dari latihan memanah, saya berbincang dengan rekan saya, penghuni kos yang baru, dia kuliah di jurusan Sejarah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Solo.

Awalnya kami seru membahas mengenai panah, kali ini saya agak "keren" menjadi narasumber dadakan, yang tentu saja saya tidak mengarang dalam hal ini, namun pernah membaca beberapa referensi mengenai panah, maupun pembahasan langsung oleh pakarnya, yaitu pelatih saya sendiri. Singkat cerita, pembahasan kami akhirnya sampai mengenai seni berperang, dan membahas mengenai buku "Art of War" yang ditulis Sun Tzu, seorang Jenderal Militer, ahli strategi, sekaligus filsus dari China yang hidup pada tahun 544-496 Sebelum Masehi.

Kali ini, gantian teman saya yang menjadi narasumbernya, maklum dia adalah mahasiswa jurusan Sejarah, jadi memang bidangnya, hingga dia berkata bahwa Sun Tzu telah memberi warisan peradaban, kitab Art of Warnya sampai kini masih dibaca jutaan orang, para penerbit menerbitkan, bukan untuk mencari keuntungan, Sun Tzu yang telah lama tiada pun, sudah tak memerlukan royalti. Semua terjadi begitu saja, karena karyanya menjadi sumbangsih yang besar terhadap peradaban di bumi.

Begitupun Al-Qur'an yang tentu tidak berbanding dengan tulisan manusia, ia adalah wahyu Ilahi.
Al-Qur'an terus dicetak, bukan untuk keuntungan, apalagi itu merupakan perkataan Allah, yang terjaga keasliannya, karena Allah telah berjanji untuk menjaganya hingga hari kiamat. Sehingga ada badan-badan waqaf yang memang bertugas mencetak Al-Qur'an yang merupakan kitab mulia berisi wahyu dari Allah. Maka pahala jariyahnya tentu akan didapatkan oleh siapa saja yang menyumbangkan atau turut andil dalam mencetak dan menyebar luaskan Al-Qur'an.

Akhirnya saya sedikit terpancing, benar juga, menulis itu bukan sekadar mencari royalti, itu hanya efek, sedangkan menjadikan royalti sebagai tujuan utama menulis, adalah suatu hal yang rendah nilainya. Menulis adalah, menyumbang pemikiran, ide, untuk peradaban, generasi selanjutnya, sebuah legacy. Menjadi sebuah amal jariyah yang besar jika apa yang kita tulis berisi kebaikan, terus diterbitkan dan dibaca banyak orang.
Kalau begitu, tumbuhkan saja niat menulis adalah untuk Allah tentunya, lalu jadikan motivasi, bahwa menulis, adalah menyumbangkan ide-ide, pemikiran-pemikiran, untuk peradaban generasi selanjutnya. Itu sungguh mulia. Semoga saja, mulai saat ini saya bisa lebih konsisten untuk menulis.

Rzq - 26/11/2013
Minggu, 24 November 2013

Selamat Hari Guru

Selamat Hari Guru,
Kepadamu semua guruku,
Juga seluruh guru di jagat bumi ini,
Hari ini mungkin hanyalah sebuah hari yang sama dengan hari-hari lain,
Inilah kami,
Hanya beberapa kali kami ucap terimakasih padamu,
saat perpisahan kami di sekolah,
juga saat hari ini di setiap tahunnya.
Selamat Hari Guru.

Aku jadi ingat masa-masa itu,
Kadang dekat, kadang kumenjauh.
Nilaiku baik, aku dekat.
Nilaiku jelek, PR-ku tak kukerjakan, kumenjauh,
Namun aku , kau tak pernah sekalipun membenci,
Semua demi kebaikanku.

Aku jadi ingat, senyum tawa candamu, di ruang kelas yang kurindu,
Kesabaranmu dengan murid-muridmu yang kadang tak karuan,
Jangan berhenti untuk mencintai dan mendidik, guruku.
Terimakasih Guruku,
Semoga Jasa-jasamu terbalaskan dengan sesuatu yang lebih baik.
aamiin.



Menulis, Kebetulan, dan Keputusan

Sebenarnya ketiga kata tersebut mewakili tiga bab awal yang telah saya baca dari sebuah buku simpel, unik, renyah, santai, berjudul "Ultimate U 2" karya Rene Suhardono. Bagaimana tidak renyah banget, buku itu benar-benar membuat kita merasa, "ini buku gue banget!" bukan karena kita penulisnya, tapi si penulis berbaik hati menyediakan space kosong, satu hingga dua halaman di setiap penghujung bab untuk menjadi arena coret-coret si pemilik buku.

Lalu pada bagian bawah "arena" coret-coret tersebut tertulis, "think less, feel more" menjadikannya sangat keren menurut saya. Buku ini, si penulisnya mendorong kita untuk mengaktualisasi diri kita sebagai pembaca, dan mengaplikasikan apa yang telah kita baca di bab yang bersangkutan. Bebas sekehendak pembaca, bisa saja membuat resume, atau malah coret-coret menggambar di bagian kosong tersebut. Buku ini asik dibaca dari bab mana aja, lalu setiap bab, tak perlu buru-buru menyelesaikan dan membaca bab selanjutnya, justru penulis menyarankan agar kita meresapi dulu satu bab yang kita baca, mencoba melakukannya, sebelum melanjutkan membacanya. Saya pun demikian, dari sekian banyak bab yang ringkas, sepekan ini saya baru membaca tiga bab.

Saya tidak ingin membahas tiga bab tersebut sekaligus meski saya telah menuliskan tiga kata tersebut sebagai judul. Bab pertama, mengajak kita untuk rajin menulis, ah mungkin terlalu formal dan terkesan memaksa ya, baiklah kita ganti dengan, "tak sungkan untuk menulis".

Mengapa harus sungkan dan mengapa harus tak sungkan? Kebanyakan orang, termasuk saya, kadang ragu untuk menulis. Saya sendiri, sejak SMP memang hobi menulis, blogging, namun SMA mulai jatuh, matisuri. Lalu awal kuliah kembali menulis, lalu padam lagi, hingga sekarang saya perlahan mencoba menulis lagi. Rasa sungkan untuk menulis biasanya karena kita terbebani oleh muatan ilmu, agar apa yang kita tuliskan itu memiliki "dalil" atau landasan yang jelas dan tidak ngawur. Khawatir salah menulis. Hal itu tidak salah, memang, kita harus menulis harus berdasarkan ilmu. Apalagi saya seorang Muslim, memahami bahwa, apapun yang kita lakukan, tuliskan, ucpakan, harus memiliki landasan keilmuwan. Baik berupa dalil-dalil syar'i maupun dalil keilmuwan umum, baik itu secara tersurat maupun tersirat. Kita sampaikan dalam tulisan maupun tidak.

Misalkan saya ingin menulis panduan berwudhu, maka saya tidak boleh hanya menerangkan step by stepnya saja, namun harus disertai dalil berupa ayat maupun hadits, juga keterangan-keterangan penjelas dari ulama yang berkompeten dalam hal tersebut. Karena, dalam Islam, masalah ibadah adalah masalah yang harus ada landasan kuat, harus ada tuntunan aau contoh dari Rosulullah Shollallahu 'alaihi wassallam. Maka dalil yang saya cantumkan berfungsi sebagai pertanggung jawaban, bahwa masalah wudhu yang saya terangkan memang seperti itu, ada dalilnya, bukan suatu yang saya karang sendiri.


Senin, 11 November 2013

Berterimakasihlah Sekarang, Jangan Tunggu Sukses!

"Alhamdulillah, saya amat bersyukur pada Allah atas karuniaNya, selain itu, saya sangat berterimakasih pada semuanya, orang tua, guru, kerabat, dan semuanya, karena atas dukungan kalian saya bisa sukses seperti saat ini..."

Mungkin itu sering kita dengar, bro.
Di mimbar-mimbar penghargaan, mimbar seminar, dan lain sebagainya.

Okay, ada banyak orang yang telah kita jumpai, baik lawan maupun kawan.
Berterimakasihlah pada semua orang yang pernah kau jumpai selama hidup ini, sob. Baik itu yang baik padamu, ataupun yang menjegal atau bahkan menikammu dari belakang. Mereka semua turut andil dalam membentuk karaktermu, mereka dikirim Allah untuk ada dihidupmu, membentukmu. Begitupun kamu, ditakdirkan masuk ke hidup mereka semua menjadi peran yang sama, entah kawan atau lawan.

Kita semua saling mempengaruhi sikap mental diri kita satu sama lain. So, kenapa nunggu sukses dulu baru berterimakasih? Apalagi kalau sukses itu hanya kau ukur dari penghargaan dan materi, oh men.. come on..
itu pemikiran yang culun sekali. Kalau begitu, apa kamu akan berterimakasih setelah kamu kaya dan sebagainya?

Saat ini kamu masih hidup, kamu sudah duluan menjadi orang yang sukses ketika kamu mampu berterimakasih pada orang-orang yang telah dikirimkan Allah dalam hidupmu, untuk memperkokoh langkah-langkahmu.

Okay, ini pesan singkatku malam ini, sebagai catatan untukku sendiri, dan semoga bisa bermanfaat bagi yang membaca.

Wassalamu'alaykum :)

Rabu, 06 November 2013

Hati, Kaki, dan Ember

image source:http://bazzcethol.com 

Pernahkah anda menyaksikan pedagang ember keliling seperti foto di atas?
Sepertinya sudah tidak asing, juga pedagang-pedagang keliling lainnya yang serupa. Ada jual kasur (matras), jual meja kecil, jual sapu, jual karpet bergulung-gulung, semuanya dilakukan dengan berjalan kaki.