Rabu, 15 Januari 2014

Serangan Dini Hari



Aku benar-benar dengan pedang terbaikku yang ditempa oleh seorang kawanku di luar kota, menebas musuh-musuh di depan. Seorang lelaki tua gemuk yang kutahu dia adalah petinggi kerajaan, trnyata meminta ampunan ketika hendak kutebas, ternyata dia ingin membelot bergabung denganku.
Luka dan suara pedang ada di mana-mana. Berapa banyak leher musuh berhasil kutebas. Dari arah gerbang Kerajaan pasukan berkuda dating dengan tombak-tombak panjangnya.

Sebelumnya, dengan mengendap-endap, aku masuk ke dapur istana, memberikan sebungkus racun dari garam kepada ibuku yang akan menyajikan makanan untuk pasukan kerajaan. Setelah itu aku kembali ke luar. Melihat bagian atas gerbang besar kerajaan. Pasukan-pasukan berjaga di sana dengan alat pelontar panah dan batu. Penjagaan sungguh ketat.

Sang raja yang begitu tiran luar biasa, menghantui rakyatnya. Hidup di dalam benteng kerajaan seperti hidup di kegelapan. Pasukan di sana sini bisa membunuh rakyatnya dengan sekehendak hatinya tanpa surat dan perintah. Tak perlu kesalahan berat. Seorang bisa dibunuh hanya karena terlihat menyebalkan, atau tak enak dipandang.

Hingga akhirnya perang ini harus di mulai. Malam harinya aku sudah memantau keadaan dalam istana yang hendak kutaklukan itu. Ibuku memang bekerja sebagai Ketua Dapur Istana, namun telah lama aku hidup mengelana. Aku bukan bagian dari kerajaan itu.




Aku dan kawan-kawanku, mengendap dan masuk untuk memastikan keadaan dan kapan serangan akan dimulai. Akhirnya saat perang meletus, aku dengan pengalaman tempur yang sedikit, berhasil menguasai keadaan. Tebasan musuh awalnya menakutiku, pedang-pedang berkilauan di malam hari, berdentingan satu dengan yang lainnya. Menghindar ke samping, diserang dari belakang, menunduk mengambil kesempatan, kutebas kaki musuhku. Lukaku menganga di sana sini, namun aku masih bersemangat dengan nafas tersengal dan jantung bergemuruh. Terus maju, pedangku yang berat, terasa ringan. Menebas dada-dada yang congkak yang telah membantai orang-orang tak berdosa.

Hingga akhirnya, pejabat itu. Aku tak tahu namanya, ia menyerah ketika akan kutebas lehernya. Badan besar dan rambut panjangnya terikat, telah memutih menua. Helm besinya telah terlepas, sedikit lagi akan tergores batang lehernya. Namun segera berlutut di hadapku menyerah. Ia tak banyak bicara hingga berdiri berbalik arah menebasi pasukannya sendiri. Ia bergabung denganku. Kondisi mulai tenang, fajar akan datang. Pasukan kerajaan mulai kocar kacir ketakutan dengan serangan dini hari dari kelompok kami. Hilir mudik pasukan berkuda yang sudah kebingungan hendak lari namun tak tahu entah kemana. Menunggu ajalnya. Sementara itu kami tetap waspada, karena pasukan berkuda itu bisa saja datang dari arah tak di duga lalu menghabisi kami dengan pedang atau tombaknya.

Sang pejabat mendekat salah seorangi pasukan berkuda itu, aku kembali menyiapkan hunusan pedangku, kupikir ia berkhianat akan kembali ke pasukannya, ternyata di luar prediksi ia dengan cerdik membunuhnya dan merebut kudanya. Aku masih tak begitu menginginkan kuda. Aku masih siaga, mataku dengan awas mmandang sekeliling. Bau kemenangan telah sangat nyata. Fajar masih gelap, pasukan-pasukanku dengan zirah-zirah hitamnya ada di mana-mana. Luka-luka menyakitkan seakan terlupakan. Sholat subuh akan tegak di Benteng musuh. Semua begitu mendebarkan nyata. Hingga aku terbangun dari tidurku.

 Solo, 16 Januari 2014

0 komentar:

Posting Komentar