Rabu, 09 Januari 2013

Syukur, Ikhtiar, dan Kapan

Di saat diri dalam keadaan sadar, banyak nikmat-nikmat yang tersyukuri, teringat jelas, meski itu hanya sebagian kecil. Karena sungguh banyak nikmat-nikmat lain yang tersembunyi, maksud saya adalah tidak terhitung. Bukankah nafas ini, kita tak pernah memintanya?




Saat diri tengah berada di kesibukan duniawi luar biasa padatnya, sama sekali sulit mengingat nikmat-nikmat tersebut. Lalu berhentilah, istirahatlah sejenak. Lalu tersentak, betapa banyak kemudahan-kemudahan yang telah Allah berikan selama ini. Rizqi yang selama ini kita anggap kecil, atau hanya seperti angin lewat. Tidak, bahkan saya terkesima mendapati kenyataan-kenyataan bahwa semua yang telah saya dapatkan, banyak atau sedikit, itu adalah karunia Allah. Kali ini saya menyempitkan makna rizqi pada finansial, karena sungguh saya tidak ragu bahwa kesehatan, kelapangan, keceriaan, dan segala macamnya, juga termasuk rizqi.

Tak terasa, satu persatu ikhtiar yang dilakukan untuk mencari karunia Allah, berbuah menjelma menjadi bercabang, ada ikhtiar lain tercipta dari satu ikhtiar. Dulu saya hanya melukis, hobi saja, lalu Allah membuka pintu rizqi saya pada hal itu. Bukankah setiap ada pesanan adalah rizqi? kadang saya malu karena jarang menyadarinya.



Lalu muncul ikhtiar lain, menjual pulsa. Bukankah satu pembeli saja, yang mungkin keuntungannya seribu rupiah, bukankah itu atas kehendak Allah, dan itu rizqi?

Ada lagi ikhtiar yang muncul. Allah mengaruniakan saya ide-ide yang mudah tereksekusi. Lalu saya mulai berjualan biji tanaman yang awalnya juga hanya hobi menanam. Bukankah, sudah banyak profit yang saya dapatkan? Astaghfirullah... betapa saya lupa bersyukur, malah sering kufur dan bermaksiat padanya.

Menjaga diri dari maksiat, dan kufur, menjadi bersyukur, bukanlah perkara agar usaha kian lancar. Itu hanya efek dari bersyukur. Namun hakikat aslinya adalah, menjaga keberkahan yang ada dalam rizqi tersebut. Point intinya, menghindari murka Allah, dan mencari ridhoNya.

Tiba-tiba, Allah bukakan lagi pintu rizqi yang lain. Saya tak berani menengok besar kecilnya, karena apapun itu, Allah begitu baik pada saya. Apa yang saat ini ada pada saya, adalah kondisi saya yang Allah lebih mengetahui. Jangan-jangan jika kapasitas saya saat ini menerima jumlah lebih atau kurang dari sekarang ini, bisa jadi akan lebih banyak madhorotnya. Maka biarlah Allah yang maha mengetahui menyampaikan saya pada masanya.

Pintu rizqi sudah terbuka, tidak hanya satu, lalu kapan saya berani menikah? Ups... 

0 komentar:

Posting Komentar