Selasa, 08 Januari 2013

catatan perjalanan : Solo-Jogja, Sebuah Perkenalan

Perjalanan ini sempat tertunda, awalnya direncanakan akan dilaksanakan pada 31 Desember 2012, namun karena kesibukan beberapa teman yang berbentura, akhirnya kami tunda sampai 4 Januari 2013.
Ada lima orang yang ikut, saya sendiri, lalu teman-teman saya, ada mas Widayat, mas Muchtar Hanafi, Ahmad, dan Zuhdi. Kami melakukan berjalanan yang mungkin sudah banyak dilakukan orang lain, yaitu berjalan kaki dari kota Solo ke kota Jogja.

Sore itu, pukul 16.00 tanggal 4 Januari 2013, haru Jumat, hujan masih turun sejak sholat Jumat. Saya menanti teman-teman di masjid Al-Fata Petoran. lalu akhirnya pukul 16.20 mereka datang, mas Widayat dan mas Muchtar. Kami memarkir motor di rumah kakek saya, lalu pukul 16.30 akhirnya kami berangkat.  Dengan mengenakan jas hujan, kami berjalan perlahan.

Perjalanan pembuka ini amat sangat santai menyenangkan. Tak terasa, dengan melewati jalan poros utama Solo, lewat RSUD Moewardi, lalu kami belok ke selatan ke arah Pasar Gede, lalu kami melewat Bank Indonesia yang megah dan mewah. Setelah itu kami memutuskan melewati Slamet Riyadi dari timur, tidak jadi melewati jalan Ronggo warsito karena terlalu padat.




Kami terus berjalan hingga maghrib, dan berhenti di Masjid PLN Purwosari, di sana pula adalah tempat bertemunya kami dengan Zuhdi yang start dari daerah Grogol. Usai maghrib kami lanjutkan perjalanan ke barat hingga masjid al-Karim Pabelan, di sana kami juga bertemu dengan Ahmad yang rumahnya di sekitar UMS Solo. Kami pun sholat isya dan usai itu beristirahat sejenak untuk mengeringkan badan yang dari tadi basah sebagian tersiram air rahmat; hujan.

Kami melanjutkan kembali perjalanan, kali ini kami memasuki sebuah kampung, yang di jalan tersebut kami bisa langsung menembus gerbang Kampus STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) Surkarta. Di tengah jalan, pada pukul 20.00 kami memutuskan berhenti mencari makan malam. Kami memilih menu lalapan, ada ayam goreng, dan lele goreng. Di situ kami bercanda dan lebih banyak membicarakan tentang sulitnya aturan Bahasa Jawa yang halus, hingga terjadi percakapan yang akrab dengan penjual di warung tersebut.

Pukul 21.00 kami memutuskan kembali berjalan. Target awal, kami harus berjalan hingga pukul 01.00 dini hari baru boleh beristirahat tidur di Masjid tertentu. Namun di luar prediksi, banyak makan malah membuat kami semakin ngantuk, terutama saya yang duluan ngantuk hingga jalan seperti orang mabuk ketika hampir sampai di gapura STAIN Surakarta. Akhirnya jam 22.30an, kamu mampir ke Masjid di dekat SMA IT Nur Hidayah. kami tidur sekitar 15 menit saja. Kemudian jalan lagi.

Ternyata ngantuk yang saya rasakan masih tetap datang. Saat itu kami berada di sekitar markas Kopasus, sempat berfoto dua kali hingga akhirnya diusir tentara yang berjaga. Kami lari seperti anak-anak hehe...
Oya, soal ngantuk tadi, Saya berusaha mengusir ngantuk saya dengan berlari-lari kencang ke depan, dan inilah awal petaka saya. Otot kaki, bagian telapak seperti terkejut, keram, akhirnya lama-kelamaan sakit dan saya pincang. Jam 23.00 kami memutuskan berhenti lagi disebuah masjid. kami tertidur hingga pukul 01.30.

Bangun dari itu, sungguh saya meraskan kakii saya seperti patah, sakit luar biasa, subhanallah...
saya menjadi orang yang paling lambat jalannya. Di belakang. Terkadang bergantian salah seorang dari tim menemani saya di belakang, namun saya enggan merepotkan, sehingga menyilahkan jika ingin duluan. yang jelas saya akan terus berjalan. Jika sakitnya luar biasa, paling saya hanya sempat istirahat satu-dua menit.

Saya berharap-harap melewati lagi mini market semacam Alf* mart atau Ind*mart. Sedari tadi deretan mini market kami lewati tatkala tidak membutuhkannya, namun ketika butuh maah tak kunjung dijumpai. Begitupun pom pengisian bahan bakar, yang bisa dijadikan tempt istirahat sejenak. Itu sudah kehendak Allah, sebagai ujian perjalanan kami.

Akhirnya sekitar jam 02.30an kami baru menjumpai minimarket, dan saya membeli air, koyo plester, dan salep nyeri otot. Saya harap ini ikhtiar saya agar kaki saya normal kembali. Namun, alhamdulillah 'ala kulli haal, sakitnya datang lagi hanya dalam jangka waktu 15an menit. Saya berharap semoga rasa sakit itu bisa menjadi media agar dosa-dosa anggota tubuh saya diampuni Allah.

Kami berjalan terus, dan memutuskan mencari masjid sebelum subuh. Setelah jauh berjalan, kami tidak menjumpai masjid, tidak sesering sebelumnya, hingga akhirnya, sampai kecamatan Delanggu, Klaten, kami baru menjumpai masjid, pukul 03.30 pagi. Kami tidur, dan bangun kembali saat subuh. Subuh berjamaah, lalu usai itu, kami semua tidur kembali. rencananya hanya sampai pukul 05.15, namun kami bangun pukul 06.15 untuk melanjutkan perjalanan lagi.

Pagi itu mendung. Matahari yang dinanti enggan muncul. Tubuh ini rasanya rindu kehangatan setelah semalaman ditemani rintik yang dingin. Namun, inilah ujian perjalanan, kami berusaha sabar. Ditambah sebuah bonus lagi, sakit kaki kanan saya kian menjadi. Menyeret, pincang kaki, itu yang saya alami.
kami berjalan lama sekali. Lalu pukul 07.00, sekitar itu kami istirahat lagi di pinggir masjid untuk buang air kecil di toiletnya. sekitar setengah jam kemudian, kami baru berjalan lagi.

Pukul 09.00, sekitar itu, mendekati gerbang Ibukota Kabupaten Klaten, kami mampir ke sebuah warung makan untuk sarapan pagi. Setelah itu, berjalan lagi dari pukul 10.00 hingga pukul 11.30, kami beristirahat di Masjid Raya Klaten, untuk sholat dan tidur sejenak, untuk memulihkan stamina. Kami menjamak sholat kami, dzuhur dan ashar.

Setelah itu, kami berjalan di kota  klaten yang asri dan bersih, menikmati tata kotanya yang sederhana namun enak dipandang mata. Kami lalu mampir ke warung prasmanan di sebuah persimpangan jalan. Hidangan yang disajikan sungguh nikmat, lumayan, alhamdulillah. Oya saya lupa bercerita, sejak pagi, kaki saya full tambalan koyo, telapak kakinya.

Setelah makan siang, berjalan lagi. Kami hitung-hitung, berdasarkan satuan jarak di jalan, Jogjakarta masih sekitar 30an Km lagi...
Masyaallah,,

Di sinilah ujian terberatnya. Seolah kami kehilangan visi di awal untuk berjalan selalu bersama-sama. Kami lupa bhwa niat awal perjalanan ini super santai, jadi jika ada anggota tim yang lelah, silahkan istirahat sesukanya dan akan ditunggu. Kali ini tidak, karena ada yang ternyata memiliki target waktu tempuh karena ada agenda yang harus dikerjakan keesokan paginya juga. Saya akui saya sering memperlambat perjalanan karena sakit yang tak kunjung pulih. Akhirnya kami seperti jalan berbalapan, karena yang terdepan bisa mendapatkan jatah istirahat lebih banyak untuk menunggu yang dibelakang.

Ketika sisa 10 km lagi, hujan. Kaki kian parah sakitnya. Saya benar-benar ditinggal, tapi saya memang mempersilahkan, saya tidak ingin membebani yang lain. Saya merasa lemah, sering menyerah pada kondisi kaki yang sakit. Namun saya sama sekali tidak ingin menyalahkan siapa-siapa. Bahkan saya belajar dari ini semua, bahwa, perjalanan yang saya lakukan adalah miniatur perjalanan hidup saya. Jika saya banyak istirahatnya, banyak menyerah karena sebuah kesakitan, banyak menunda, akhirnya saya di belakang, berbeda dengan yang mengabaikan rasa sakitnya, meski di sisi lain memang saya tak tahu siapa yang paling sakit kakinya.

10 km terakhir itu begitu terasa lama. Saya berjalan, tak kunjung menemukan rambu jarak yang telah ditempuh. Sendirian di belakang, menahan sakit, dan hujan yang semakin dingin. Jika mau, saya bisa untuk menangis, tapi....


Saya rasa, saya tidak berhak menangis untuk rasa sakit atau penderitaan yang saya alami. Karena, membayangkan penderitaan, luka, dan duka orang lain, saudara saya di Palestina, Suriah, dsb, pasti jauh lebih parah. Membayangkan bagaimana hijrah para pendahulu kaum Muslimin di masa Rosulullah, sungguh beribu kali lipat atas kepayahan yang saya alami.

Saya hanya berhak menangisi kelemahan tekad dan komitmen saya dalam menjalani kehidupan di atas jalan Islam ini.

Saya hanya berhak menangisi dosa-dosa dan lemahnya keimanan saya.

Selain itu, saya rasa saya tidak berhak.


Perlahan berjalan, sendiri menguatkan kaki, meyakinkan diri bahwa itu tidak sakit meski lubuk hati tetap meringis. ya Allah.. jadikan sakit kaki dan badanku menjadi pengantarku pada ampunanMu, atas dosa dan maksiatku yang menggunung.

Saya sempat senang, ketika melihat penanda jarak tinggal 4 km. Lalu saya sepintas melewati penanda lagi, saya pikir tinggal 3 km lagi. Tapi lama berjalan, ternyata menemukan penanda lagi, dan masih di angka yang sama, 3 km. Saya seperti kesal sendiri, sedih, akhirnya, Allah berkehendak mengistirahatkan saya, Adzan berkumandang. :)

Saya sholat Maghrib-Isya sekaligus. Setelah itu, berjalan lagi, tertatih. Tertatih, tapi saya harus sampai. Sebuah pesan saya terima bahwa teman-teman sudah sampai di garis finish, Jogjakarta.
Saya terus berjalan, 2 km lagi.

Saya memutuskan benar-benar mengkhayal memvisualisasikan bahwa 2 km itu seperti jarak gerbang belakang kampus saya dan kos, benar-benar. Hingga akhirnya...
Saya menerima keberhasilan saya..
Saya melampaui diri saya sendiri,
sampai pada tujuan. Bahagiaa sekali melihat sebuah penanda finish.

Allahu akbar...
alhamdulillah, makasi ya Allah...

Kau menolongku, bahkan aku tak meminta pun kau berikan...
dan dosak-dosaku terus membanjiri catatan amalku...
Ampuni aku ya Robb...

(Solo, 9/1/13. 03.16)

0 komentar:

Posting Komentar