Aku sudah hampir mati, dijatuhkan dari
atap, berdebam keras ke atas tanah dengan luka dimana-mana setelah terkena
sayatan golok dan seng-seng yang tajam. Aku sudah dipuncak hidupku, aku akan
mati sebentar lagi melawan empat orang. Aku kenal salah satu dari mereka adalah
pengasuhku dulu semasa SMA di asrama. Tak kusangka kali ini aku berhadapan
dengannya sebagai musuh. Ini semua terjadi setelah mereka menewaskan tiga orang
rekanku, penduduk tempat ini. Rekan-rekanku sedang membela seorang keluarga
miskin yang sedang diperas hartanya dengan licik dan tak berhati oleh komplotan
orang-orang jahat ini.
Luka memar dan robek di sekujur tubuhku, pipiku seakan sudah
tak karuan bentuknya setelah di hajar dan disentuh golok. Aku mulai melihat
dengan kabur semuanya. Seakan melambat, mereka semua dari atas mencoba turun
untuk kembali menghantamku dengan segala yang mereka punya. Satu dari mereka
membawa golok, sementara yang lain tangan kosong, siap untuk mengambil balok,
menghantamkannya kepalaku.
Anugerah saat kritis seperti ini adalah, ketika semua terasa melambat, hingga
ada waktu bagiku untuk berpikir saat aku masih terbaring di tanah sehabis
jatuh. Sial, aku memang harus memenangkan perkelahian ini. Satu lawan empat.
Jika sampai aku mati, maka kejahatan empat orang ini akan terus merajalela.
Membunuh orang-orang tak berdosa dan memeras harta mereka tanpa pandang kondisi
ekonomi korbannya. Aku pun bangkit dengan segala kekuatan yang tersisa. Satu
pukulan berhasil kuhindari.
Dari belakang, pria bertato dengan rambut agak panjang itu,
akan menebaskan goloknya ke sampingku, lenganku robek lagi. Dengan peluang yang
ada, kutendang lututnya, kukunci badannya, kuambil goloknya, langsung
kurapatkan dilehernya, dan kugesekkan terus dengan sisa tenaga. Satu mati. Yang
lain semakin geram akan membunuhku. Penglihatanku sudah berkunang-kunang.
Jantungku berdegup tak karuan. Aku akan mati. Kepalaku dihantam balok kayu, aku
hampir buta tak bisa melihat. Gelap, redup. Namun, sekali lagi Allah
menolongku, keadaan berbalik, kutebaskan golok rampasanku ke badan pengasuhku itu,
ia jatuh tapi belum mati.
Dua orang yang semakin brutal. Kami kembali kejar-kejaran di
sekeliling lokasi yang sempit. Aku menghindari pukulan mereka. Posisinya
terulang, kami bertarung di atas atap lagi. Satu lagi berhasil kulumpuhkan,
satunya kudorong hingga jatuh berdebam keras di samping rekannya tadi.
Pengasuhku dulu. Aku turun, dari atap.
Mereka yang di bawah, bisa bangkit lagi, aku terdesak lagi. Dengan susah payah
dan sisa tenaga, aku berhasil menebas leher mereka dengan golok yang mulai
menumpul secara bergantian, ditangah hantaman dan cekikan hebat satu dari
mereka dari belakangku. Kalau dia tak mati, nisacaya aku yang akan mati. Lalu kulepaskan
cekikan orang di belakangnku, kubanting ke depan, dan kutindih lehernya dengan
golok. Selesai, mereka, tiga dari empat sudah mati. Satu yang sekarat di atap,
tak akan kubunuh. Sudah cukup. Tiga nyawa, dibalas tiga. Aku segera tertatih ke
tempat aman. Semuanya menjadi gelap. Aku Jatuh pingsan.
Keesokan harinya, ketiga jenazah itu dievakuasi polisi. Aku
pikir aku akan menjalani hukuman berat, entah dipenjara seumur hidup, atau
mungkin malah dihukum mati. Ternyata aku terbebas dari semua tuntutan.
Alhamdulillah. Namun satu hal yang sampai saat ini membuatku merasa cemas.
Tubuh orang keempat yang tak kubunuh, diambil oleh teman-temannya sebelum
polisi datang. Itu artinya, akan ada pembalasan dendam di waktu yang akan
datang.
Semua orang menjengukku. Kini aku terbaring di rumah sakit.
Luka tusuk dan memar ada di banyak bagian tubuhku. Rangkaian bunga yang begitu
cantik, tertata rapi dalam seikat yang menarik di meja sebelahku, diberi oleh seseorang
yang merasa beruntung telah kuselamatkan. Mungkin dari anak keluarga yang
tengah diperas oleh penjahat itu. Senang rasanya, warga di kampong itu, mungkin
sementara waktu tak akan lagi mendapat gangguan dari orang-orang yang kini
telah kubunuh.
Setelah keluar dari rumah sakit ini, aku akan merasakan
pertempuran yang sesungguhnya. Aku harus segera melatih kemampuanku, dan
mencari teman-teman yang bisa kuandalkan. Semua masih sangat menegangkan,
membayangkan masa-masa yang akan datang, membayangkan, peperangan sebenarnya
baru akan dimulai. Bukan salahku, namun jika memang aku harus bertarung untuk
membela orang-orang ini, aku tak boleh mundur. Perlahan aku mulai semakin redup
penglihatanku. Membawaku tertidur di rumah sakit, dan terbangunlah aku ke dunia
nyata. Mimpi tadi sungguh mendebarkan. AKu
terduduk di tepi kasur, dengan luka yang telah sembuh, dengan jantung yang
masih terpacu cepat.
SOLO, 21 Januari 2014