Minggu, 16 Februari 2014

Bangkit lebih dari seribu kali

kapasitas diri
perlu terus ditingkatkan
akhlaq diri
perlu terus di asah
jalan memang berliku
terjerembab jatuh
bukan alasan untuk menyerah
tekadkanlah diri
untuk selalu bangkit
tak putus asa
dari Rahmat dan AmpunanNya

Ummat ini
membutuhkanmu
jangan sedih
atas semua kesalahan
asalkan taubat
selalu jadi tekad

jangan lelah
kokohkan akidah
sibakkan kabut-kabut kebodohan
dengan ilmu

tak ada kata terlambat
usiamu baru kepala dua,
jangan terpikir itu terlalu tua
karena ada
yang baru memulai
bahkan saat usianya sudah senja
saat kekuatannya
hampir sirna sempurna

Allah Maha Tahu
kaupun memahami
lemah dan nistanya diri
namun jangan pernah menyerah
jangan berhebti berdoa
agar Allah selalu menolong

Senin, 20 Januari 2014

Tiga dibalas Tiga




Aku sudah hampir mati, dijatuhkan dari atap, berdebam keras ke atas tanah dengan luka dimana-mana setelah terkena sayatan golok dan seng-seng yang tajam. Aku sudah dipuncak hidupku, aku akan mati sebentar lagi melawan empat orang. Aku kenal salah satu dari mereka adalah pengasuhku dulu semasa SMA di asrama. Tak kusangka kali ini aku berhadapan dengannya sebagai musuh. Ini semua terjadi setelah mereka menewaskan tiga orang rekanku, penduduk tempat ini. Rekan-rekanku sedang membela seorang keluarga miskin yang sedang diperas hartanya dengan licik dan tak berhati oleh komplotan orang-orang jahat ini.

Luka memar dan robek di sekujur tubuhku, pipiku seakan sudah tak karuan bentuknya setelah di hajar dan disentuh golok. Aku mulai melihat dengan kabur semuanya. Seakan melambat, mereka semua dari atas mencoba turun untuk kembali menghantamku dengan segala yang mereka punya. Satu dari mereka membawa golok, sementara yang lain tangan kosong, siap untuk mengambil balok, menghantamkannya kepalaku. 

Anugerah saat kritis seperti ini  adalah, ketika semua terasa melambat, hingga ada waktu bagiku untuk berpikir saat aku masih terbaring di tanah sehabis jatuh. Sial, aku memang harus memenangkan perkelahian ini. Satu lawan empat. Jika sampai aku mati, maka kejahatan empat orang ini akan terus merajalela. Membunuh orang-orang tak berdosa dan memeras harta mereka tanpa pandang kondisi ekonomi korbannya. Aku pun bangkit dengan segala kekuatan yang tersisa. Satu pukulan berhasil kuhindari. 

Dari belakang, pria bertato dengan rambut agak panjang itu, akan menebaskan goloknya ke sampingku, lenganku robek lagi. Dengan peluang yang ada, kutendang lututnya, kukunci badannya, kuambil goloknya, langsung kurapatkan dilehernya, dan kugesekkan terus dengan sisa tenaga. Satu mati. Yang lain semakin geram akan membunuhku. Penglihatanku sudah berkunang-kunang. Jantungku berdegup tak karuan. Aku akan mati. Kepalaku dihantam balok kayu, aku hampir buta tak bisa melihat. Gelap, redup. Namun, sekali lagi Allah menolongku, keadaan berbalik, kutebaskan golok rampasanku ke badan pengasuhku itu, ia jatuh tapi belum mati.

Dua orang yang semakin brutal. Kami kembali kejar-kejaran di sekeliling lokasi yang sempit. Aku menghindari pukulan mereka. Posisinya terulang, kami bertarung di atas atap lagi. Satu lagi berhasil kulumpuhkan, satunya kudorong hingga jatuh berdebam keras di samping rekannya tadi. Pengasuhku  dulu. Aku turun, dari atap. Mereka yang di bawah, bisa bangkit lagi, aku terdesak lagi. Dengan susah payah dan sisa tenaga, aku berhasil menebas leher mereka dengan golok yang mulai menumpul secara bergantian, ditangah hantaman dan cekikan hebat satu dari mereka dari belakangku. Kalau dia tak mati, nisacaya aku yang akan mati. Lalu kulepaskan cekikan orang di belakangnku, kubanting ke depan, dan kutindih lehernya dengan golok. Selesai, mereka, tiga dari empat sudah mati. Satu yang sekarat di atap, tak akan kubunuh. Sudah cukup. Tiga nyawa, dibalas tiga. Aku segera tertatih ke tempat aman. Semuanya menjadi gelap. Aku Jatuh pingsan.

Keesokan harinya, ketiga jenazah itu dievakuasi polisi. Aku pikir aku akan menjalani hukuman berat, entah dipenjara seumur hidup, atau mungkin malah dihukum mati. Ternyata aku terbebas dari semua tuntutan. Alhamdulillah. Namun satu hal yang sampai saat ini membuatku merasa cemas. Tubuh orang keempat yang tak kubunuh, diambil oleh teman-temannya sebelum polisi datang. Itu artinya, akan ada pembalasan dendam di waktu yang akan datang.

Semua orang menjengukku. Kini aku terbaring di rumah sakit. Luka tusuk dan memar ada di banyak bagian tubuhku. Rangkaian bunga yang begitu cantik, tertata rapi dalam seikat yang menarik di meja sebelahku, diberi oleh seseorang yang merasa beruntung telah kuselamatkan. Mungkin dari anak keluarga yang tengah diperas oleh penjahat itu. Senang rasanya, warga di kampong itu, mungkin sementara waktu tak akan lagi mendapat gangguan dari orang-orang yang kini telah kubunuh. 

Setelah keluar dari rumah sakit ini, aku akan merasakan pertempuran yang sesungguhnya. Aku harus segera melatih kemampuanku, dan mencari teman-teman yang bisa kuandalkan. Semua masih sangat menegangkan, membayangkan masa-masa yang akan datang, membayangkan, peperangan sebenarnya baru akan dimulai. Bukan salahku, namun jika memang aku harus bertarung untuk membela orang-orang ini, aku tak boleh mundur. Perlahan aku mulai semakin redup penglihatanku. Membawaku tertidur di rumah sakit, dan terbangunlah aku ke dunia nyata. Mimpi tadi sungguh mendebarkan.  AKu terduduk di tepi kasur, dengan luka yang telah sembuh, dengan jantung yang masih terpacu cepat.

SOLO, 21 Januari 2014
Rabu, 15 Januari 2014

Serangan Dini Hari



Aku benar-benar dengan pedang terbaikku yang ditempa oleh seorang kawanku di luar kota, menebas musuh-musuh di depan. Seorang lelaki tua gemuk yang kutahu dia adalah petinggi kerajaan, trnyata meminta ampunan ketika hendak kutebas, ternyata dia ingin membelot bergabung denganku.
Luka dan suara pedang ada di mana-mana. Berapa banyak leher musuh berhasil kutebas. Dari arah gerbang Kerajaan pasukan berkuda dating dengan tombak-tombak panjangnya.

Sebelumnya, dengan mengendap-endap, aku masuk ke dapur istana, memberikan sebungkus racun dari garam kepada ibuku yang akan menyajikan makanan untuk pasukan kerajaan. Setelah itu aku kembali ke luar. Melihat bagian atas gerbang besar kerajaan. Pasukan-pasukan berjaga di sana dengan alat pelontar panah dan batu. Penjagaan sungguh ketat.

Sang raja yang begitu tiran luar biasa, menghantui rakyatnya. Hidup di dalam benteng kerajaan seperti hidup di kegelapan. Pasukan di sana sini bisa membunuh rakyatnya dengan sekehendak hatinya tanpa surat dan perintah. Tak perlu kesalahan berat. Seorang bisa dibunuh hanya karena terlihat menyebalkan, atau tak enak dipandang.

Hingga akhirnya perang ini harus di mulai. Malam harinya aku sudah memantau keadaan dalam istana yang hendak kutaklukan itu. Ibuku memang bekerja sebagai Ketua Dapur Istana, namun telah lama aku hidup mengelana. Aku bukan bagian dari kerajaan itu.




Aku dan kawan-kawanku, mengendap dan masuk untuk memastikan keadaan dan kapan serangan akan dimulai. Akhirnya saat perang meletus, aku dengan pengalaman tempur yang sedikit, berhasil menguasai keadaan. Tebasan musuh awalnya menakutiku, pedang-pedang berkilauan di malam hari, berdentingan satu dengan yang lainnya. Menghindar ke samping, diserang dari belakang, menunduk mengambil kesempatan, kutebas kaki musuhku. Lukaku menganga di sana sini, namun aku masih bersemangat dengan nafas tersengal dan jantung bergemuruh. Terus maju, pedangku yang berat, terasa ringan. Menebas dada-dada yang congkak yang telah membantai orang-orang tak berdosa.

Hingga akhirnya, pejabat itu. Aku tak tahu namanya, ia menyerah ketika akan kutebas lehernya. Badan besar dan rambut panjangnya terikat, telah memutih menua. Helm besinya telah terlepas, sedikit lagi akan tergores batang lehernya. Namun segera berlutut di hadapku menyerah. Ia tak banyak bicara hingga berdiri berbalik arah menebasi pasukannya sendiri. Ia bergabung denganku. Kondisi mulai tenang, fajar akan datang. Pasukan kerajaan mulai kocar kacir ketakutan dengan serangan dini hari dari kelompok kami. Hilir mudik pasukan berkuda yang sudah kebingungan hendak lari namun tak tahu entah kemana. Menunggu ajalnya. Sementara itu kami tetap waspada, karena pasukan berkuda itu bisa saja datang dari arah tak di duga lalu menghabisi kami dengan pedang atau tombaknya.

Sang pejabat mendekat salah seorangi pasukan berkuda itu, aku kembali menyiapkan hunusan pedangku, kupikir ia berkhianat akan kembali ke pasukannya, ternyata di luar prediksi ia dengan cerdik membunuhnya dan merebut kudanya. Aku masih tak begitu menginginkan kuda. Aku masih siaga, mataku dengan awas mmandang sekeliling. Bau kemenangan telah sangat nyata. Fajar masih gelap, pasukan-pasukanku dengan zirah-zirah hitamnya ada di mana-mana. Luka-luka menyakitkan seakan terlupakan. Sholat subuh akan tegak di Benteng musuh. Semua begitu mendebarkan nyata. Hingga aku terbangun dari tidurku.

 Solo, 16 Januari 2014